-->

Dokumenter Tempo "Kilometer 50" Pertanyakan Klaim Bela Diri Polisi Terkait Tewasnya Laskar FPI

Dokumenter Tempo "Kilometer 50" Pertanyakan Klaim Bela Diri Polisi Terkait Tewasnya Laskar FPI

JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Sebuah dokumenter yang dirilis oleh Tempo mengungkapkan keraguan pada klaim polisi bahwa peristiwa pembunuhan enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020 dilakukan untuk mempertahankan diri dalam situasi terpaksa.

Film dokumenter berdurasi sekitar 51 menit yang bertajuk “Kilometer 50”ini diluncurkan di YouTube pada Kamis di tengah sorotan kepada polisi menyusul terungkapnya upaya menutupi pembunuhan seorang polisi Juli lalu, yang diduga dilakukan oleh Kadiv Propam Ferdy Sambo, perwira yang memimpin penyelidikan kesalahan polisi dalam kasus penembakan keenam anggota FPI itu.

Saksi-saksi yang diwawancarai Tempo menyatakan bahwa laskar FPI yang saat itu mengawal perjalanan pemimpin mereka Muhammad Rizieq Shihab ke Karawang, Jawa Barat, tidak pernah memulai serangan pada polisi yang membuntuti rombongan di jalan tol Jakarta-Cikampek.

Produser “Kilometer 50” Nana Riskhi mengatakan film tersebut merupakan kelanjutan dari investigasi majalah Tempo yang menyimpulkan bahwa penembakan laskar FPI tersebut merupakan pembunuhan di luar hukum.

“Hal yang baru dalam dokumenter tersebut adalah wawancara saksi kunci, dua orang korban yang selamat,” ujar Nana.

Aang Suhaeri, anggota FPI yang ikut mengawal Rizieq saat kejadian, dan merupakan salah satu dari dua saksi kunci dalam dokumenter itu mengatakan, “Kita tidak diperbolehkan membawa senjata tajam, karena di KTA (kartu tanda anggota) tertera kita tidak boleh membawa senjata api dan senjata tajam,”

“Kita tidak pernah menembak, kita ditembak,” lanjutnya.

Kesaksian tersebut bertentangan dengan klaim polisi yang pada hari peristiwa itu, 7 Desember 2020, mengadakan konferensi pers dengan memperlihatkan sejumlah senjata yang disebut sebagai barang bukti dalam bentrok antara polisi dan FPI dini harinya di km 50.

“Ketika anggota Polda Metro Jaya mengikuti kendaraan yang diduga adalah pengikut MRS (Muhammad Rizik Shihab) kendaraan petugas dipepet lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api, dan senjata tajam sebagaimana yang rekan-rekan lihat di depan ini,” demikian Kapolda Metro Jaya saat itu, Muhammad Fadil Imran, merujuk pada clurit, senjata seperti samurai dan pistol.

Kesaksian dua anggota FPI itu juga berbeda dengan fakta-fakta persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menyebutkan bahwa dua polisi yaitu Briptu Fikri Ramadan dan Ipda Yusmin Ohorella, menembak untuk membela diri dalam situasi terpaksa. Pelaku penembakan ketiga dari pihak polisi tewas dalam kecelakaan lalu lintas saat dalam proses penyidikan, kata kepolisian.

Bertentangan dengan pernyataan polisi, kedua saksi kunci itu mengatakan bahwa justru mobil polisi yang memepet salah satu dari delapan mobil rombongan FPI.

Anggouta FPI lain yang lolos dari peristiwa tersebut, Inzaghi, mengatakan penumpang mobil yang mengejarnya mengacungkan senjata api.

Mobil yang ditumpanginya berhasil menyalip dan menghindar, namun korban bernama Andi Oktiawan yang menumpang mobil di belakangnya terkena tembakan di bagian mata.

“Mobil kami belum sempat ditembak, mobil almarhum ketembak. Kena matanya, pecah,” ujarnya dalam video dokumenter tersebut.

Pengemudi truk derek peristiwa km 50 itu, Dedi Mardedi, mengatakan dia melihat empat orang tertelungkup di tepi jalan dan satu orang lagi sudah tertembak.

Dalam mobil, dia juga melihat satu orang dengan mata yang terluka akibat tembakan.

“Waktu itu polisi mengatakan bahwa mereka adalah rampok, teroris. Tidak boleh ada yang memfoto dan memvideokan,” ujarnya.

Peristiwa itu berakhir dengan tewasnya enam anggota laskar FPI yaitu Andi Oktiawan (33), Ahmad Sofiyan (26), Lutfi Hakim (25), Faiz Ahmad Syukur (22), Muhammad Suci Khadavi (21), dan Muhammad Reza (20).

Dalam insiden yang terjadi pada dinihari itu, diketahui empat Laskar FPI masih hidup sebelum polisi membawanya ke dalam mobil. Sementara, dua laskar yang lain, telah tewas tertembak.

Kasus tersebut kemudian ikut diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM menyatakan bahwa polisi diduga melakukan pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing terhadap empat anggota FPI yang dibawa dalam mobil petugas.

“Bukti yang diabaikan”


Pengacara FPI Ali Alatas mengungkapkan saksi-saksi yang diwawancarai oleh Tempo adalah bukti-bukti yang selama ini tidak pernah didengarkan keterangannya di pengadilan.

“Banyak bukti berserakan tapi diabaikan. Apa yang Tempo angkat itu sebagian dari bukti-bukti yang diabaikan penegak hukum,” ujar dia kepada BenarNews.

“Termasuk linimasa dari handphone milik enam korban,” kata Ali.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan dalam dokumenter itu mengatakan bahwa vonis dari majelis hakim menyatakan anggota polri tidak bersalah dan bebas. “Maka, kami memandang bahwa apa yang dilakukan kepolisian dalam peristiwa itu sudah sesuai SOP (Standard Operating Procedure). Jadi keputusannya menjadi bebas.”

Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut.

Jaksa juga menilai bahwa hakim tidak cermat dalam menyimpulkan dan mempertimbangkan berbagai fakta hukum kasus tersebut, terurama soal saksi-saksi, ahli dan surat-surat yang dihadirkan dalam persidangan.

Putusan Mahkamah Agung (MA) pada Selasa 13 September 2022 menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. MA menguatkan putusan bebas dua terdakwa dan menilai perbuatan mereka adalah pembelaan diri dalam situasi terpaksa.

“Jangan ditutup-tutupi”


Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mempertanyakan pembersihan tempat kejadian segera setelah kejadian.

“Dalam sebuah insiden kriminal, tidak boleh ada pembersihan tempat kejadian perkara, harus ada police line. Siapapun tidak boleh melewati, kalau perlu jalan tol ditutup atau separo tertutup,” ujarnya dalam dokumenter.

“Ada semacam abuse of process (pelanggaran proses hukum), due process of law yang tidak berjalan,” tambahnya.  

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara meminta polisi menyelesaikan rekomendasi yang pernah diberikan dalam kasus tersebut, antara lain memproses hukum pelaku penembakan dengan mekanisme peradilan pidana, dan meminta penegakan hukum hukum yang transparan sesuai standar HAM.

BenarNews menghubungi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadan dan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan untuk meminta komentar terkait dokumenter tersebut, namun tidak mendapatkan respons.

Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai sejak awal terlihat upaya menutupi peristiwa tersebut, baik saat kejadian maupun pasca-kejadian.

“Seolah publik dipaksa menerima hasil dari kepolisian saja tanpa bisa memberikan informasi tambahan dari keterangan yang ditemukan pihak lain,” ucap Rivanlee kepada BenarNews.

Aqse Abu Faiz, orang tua Faiz Ahmad Syukur, hingga kini masih terus menagih janji polisi untuk menuntaskan kasus kematian anaknya.

Dia mendesak agar polisi terbuka dan transparan membuka kasus kematian anaknya. “Jangan lagi ada yang ditutup-tutupi. Polisi harus profesional.” (Nazarudin Latif / Pizaro Gozali Idrus | BenarNews)

Tentang Kami

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel