-->

Fikri Ramadhan dan Mohammad Yusmin Ohorella, Polisi Penembak Mati Anggota FPI Dibebaskan

Fikri Ramadhan dan Mohammad Yusmin Ohorella, Polisi Penembak Mati Anggota FPI Dibebaskan
Para pendukung Muhammad Rizieq Shihab, pimpinan dari organisasi Front Pembela Islam (FPI), berkumpul di markasnya di Jakarta menyambut kedatangan pimpinan mereka dari Arab Saudi, 10 November 2020 - (AFP)

JAKARTA SELATAN, LELEMUKU.COM- Dua polisi yang didakwa menembak hingga tewas empat anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam kasus pembunuhan di luar hukum divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/3/2021).

Kedua terdakwa, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella, dianggap membela diri saat melepaskan tembakan ke arah korban, kata hakim ketua Arif Nuryanta. Hakim pun meminta jaksa untuk segera membebaskan kedua terdakwa.

Keempat korban tewas adalah Muhammad Suci Khadavi, Muhammad Reza, Lutfi Hakim, dan Akhmad Sofiyan.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa pada Oktober tahun lalu, kedua terdakwa dituduh menembak para anggota FPI dalam jarak dekat.  

Dua korban di antaranya yaitu Suci dan Khadavi bahkan disebut jaksa ditembak terdakwa Fikri saat mereka sudah tidak melakukan perlawanan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam investigasi yang dirilis sebulan usai insiden pun melabeli tindakan Yusmin dan Fikri ini sebagai unlawful killing, namun hakim Arif dalam pertimbangan putusan hari ini berpendapat bahwa tindakan keduanya merupakan bentuk pembelaan diri dalam kondisi terancam.

"Dalam rangka pembelaan, (terdakwa) terpaksa melampaui batas, tapi menyatakan (terdakwa) tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf," ujar hakim Arif.

"Terdakwa mendapat serangan dan terancam jiwanya... Memutuskan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum."

Selain kedua terdakwa, seorang polisi lain yakni Ipda Elwira Priadi yang semestinya juga menjadi terdakwa dalam kasus ini, meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada Juni 2021.

Insiden penembakan anggota FPI terjadi pada 7 Desember 2020.

Menurut polisi, peristiwa ini bermula dari dugaan pengerahan massa yang hendak dilakukan pimpinan FPI Muhammad Rizieq Shihab yang akan diperiksa terkait pelanggaran protokol kesehatan dan pemalsuan hasil tes COVID-19.

Sebagai antisipasi, aparat kemudian membuntuti sebuah mobil yang ditumpangi pengikut Rizieq --kala itu mengangkut enam simpatisan FPI, termasuk empat korban.

Namun saat akan ditangkap, pengikut Rizieq yang ada di mobil disebut justru melawan balik dengan memepet mobil yang memburu --polisi mengeklaim anggota FPI melepaskan tembakan ke arah aparat di sekitar rest area kilometer 50 Cikampek, Jawa Barat.

Dalam pengejaran tersebut dua anggota FPI yakni Faiz Syukur dan Andi Oktiawan tewas.

Komnas HAM dalam penyelidikan menyatakan tewasnya keduanya bukan sebagai pembunuhan di luar hukum karena didahului kejar-kejaran dan baku tembak antar keduanya.

Hanya kematian empat anggota FPI yang dinilai tindakan pidana karena mereka ditembak saat sudah diringkus dan akan dibawa ke Markas Polda Metro Jaya.

Jaksa menginginkan kedua terdakwa dihukum enam tahun penjara lantaran dianggap melanggar Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan sengaja.

Walhasil jaksa penuntut menyatakan masih berpikir-pikir, apakah menerima atau mengajukan banding.

Hal yang berbeda terlihat pada Yusmin dan Fikri yang mengikuti persidangan secara daring.

"Alhamdulillah. Kami menerima putusan itu," kata kuasa hukum keduanya, Henry Yosodiningrat.

Kepolisian Daerah Metro Jaya mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap dua anggotanya.

Juru bicara Kombes Endra Zulpan menilai, putusan ini membuktikan bahwa aparat sejatinya telah bertindak seusai ketentuan yang berlaku kala bertugas.

"Artinya, anggota di lapangan dalam kasus kilometer 50 telah bertindak sesuai SOP (standard operating procedure)," kata Zulpan kepada wartawan di Jakarta.

FPI, organisasi yang dibentuk oleh Rizieq Shihab pada tahun 1998, pada akhir 2020 telah dimasukkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah. FPI yang banyak mendapat dukungan dari organisasi Islam konservatif dalam aktivitasnya sering melakukan "penertiban" terhadap warga diluar hukum dengan alasan menegakkan moral berdasarkan ajaran Islam.

“ Pengadilan sandiwara”

Sementara Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) anggota FPI menolak berkomentar atas putusan hakim. Sedari awal, Sekretaris TP3 Marwan Batubara mengatakan bahwa persidangan tak ubahnya sandiwara sehingga tidak relevan untuk dikomentari.

"Enggak penting ditanggapi karena pengadilan dagelan. Sekedar sandiwara," ujar Marwan kepada BenarNews.

Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan prihatin atas putusan hakim dan berharap jaksa dapat mengajukan banding.

"Saya kaget dan prihatin soal putusan tersebut. Saya berpikir tadinya alasan pemaaf hanya akan dipakai majelis untuk meringankan hukuman," ujarnya, dikutip dari situs berita Detik.com.  

"Saya berjarap jaksa bisa mengajukan banding agar segala spekulasi terkait perkara ini benar-benar bisa tuntas hingga tingkat terakhir di Mahkamah Agung."

Tudingan pelanggaran prosedur seperti dalam perkara tewasnya empat anggota FPI bukan kali ini saja menimpa kepolisian.

Baru-baru ini, kepolisian juga dituding melanggar prosedur terkait tewasnya Dokter Sunardi yang ditembak Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 Polri di Sukoharjo, Jawa Tengah, atas dugaan keterlibatan dalam tindak pidana terorisme.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Sukoharjo meminta kepolisian membuka penyelidikan ini secara terang benderang demi menghindari distorsi di tengah masyarakat sehingga dokter diasosiasikan dengan teroris.

Komnas HAM telah memulai penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini dan telah memanggil Densus 88 pada Selasa (15/3). (Arie Firdaus| BenarNews)

Tentang Kami

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel